Selasa, 04 Februari 2014

Tenggelamnya Bisnis Jual Mainan

Trend mainan anak-anak telah mengalami beberapa kali pergeseran; mulai dari jenis mainan manual–mainan elektronik–hingga mengarah pada mainan jenis digital. Bisnis mainan seperti bisnis jual kartu mainan, jual board games mulai ditinggalkan sejak munculnya bisnis mainan elektronik seperti bisnis jual remote control, dan mobil balap tamiya–disusul dengan mainan era digital Power Station (PS), Power Station Portable (PSP), dan mainan digital lainnya; yang dioperasikan dengan komputer, ponsel, tablet dan game online.

Satu per satu toko mainan konvensional tergeser oleh dominasi toko perlengkapan mainan digital dan warnet yang bertebaran bak jamur di musim hujan. Pebisnis toko mainan yang tidak mengikuti trend teknologi ini akan ditinggalkan oleh pembelinya; lambat-laun pasti akan terus merugi. Dengan membeli mainan PSP seharga 2 jutaan, terbukti, bisa mengurangi keinginan bermain di Game Fantasy atau pusat-pusat permainan lain, yang biasanya terdapat di mall-mall, di kota-kota besar–di mana dalam sekali bermain, seorang anak bisa menghabiskan uang tak kurang 50 ribu rupiah dalam waktu 30 menit.

Kegundahan pebisnis mainan, juga dialami oleh ‘NH’, nama inisial teman kecil saya. Leluhurnya, punya toko mainan yang cukup besar di kota Kediri–toko yang diwariskan dari generasi ke generasi. Toko itu diserahkan padanya pada tahun 1998; dalam posisi merugi–bangunan reyot, dagangan habis dan uang juga habis. Orang tuanya telah meninggal. Ketika itu, dia masih semester 3 dan memiliki adik yang sedang beranjak besar. Dengan modal pinjaman dari saudaranya, dia nekat terjun ke mainan elektronik yang lagi booming kala itu: mainan remote control dan tamiya. Dari dua jenis mainan itu, dia berhasil mengumpulkan sejumlah modal untuk memperbesar usahanya.

Dia menangkap perubahan trend mainan anak. Dia merasa era mainan konvensional perlahan akan memudar omsetnya. Dan kesulitan ekonomi keluarga kebanyakan, akan membuat mereka sedapat mungkin menghindari masuk ke toko mainan apabila keluar rumah bersama anak-anak mereka. Akhirnya, dia membagi dua produk dagangannya; separuhnya berisi bahan-bahan kebutuhan pokok (consumer good) dan separuhnya lagi mempertahankan dagangan lama, mainan anak konvensional. Kini, hanya tokonya yang masih bisa bertahan dalam menjual mainan konvensional. Sementara itu, toko-toko mainan konvensional lainnya gulung-tikar. Itulah triknya; saat orang tua berbelanja, anak-anak mereka sibuk memilih mainan.
Kini, dia telah memasuki tahun ke-15 pengelolaan tokonya. Dia telah berhasil membuka 2 cabang baru; lebih besar daripada toko lamanya sehingga dia sudah memiliki 3 buah toko. 

Dia masih memiliki keinginan membuka 1 cabang lagi; di mana dia bersama saudaranya akan memiliki toko mainan masing-masing. Dia mengendalikan ketiga tokonya dari rumahnya; di mana seluruh mesin kasir dan kamera CCTV bisa dia akses tanpa perlu keluar rumah.
Kesulitan yang dialami NH, membuatnya kehilangan energi untuk menyelesaikan kuliahnya. “Sejak drop out, saya kuliah di Google,” katanya suatu waktu, “Di sana kamu bisa mendapatkan ilmu apapun yang kamu butuhkan.” Kesulitan hidup adalah batu pijakan untuk melangkah menuju kehidupan yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar